HUKUM SYAIR (SYI’IR)
Banyak hadits Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam yang menjelaskan tentang dibencinya banyak bersya’ir :
Ibnu Hajar berkata :
An-Nawawi berkata ketika menjelaskan hadits di atas :
Bersyair pada asalnya adalah boleh sebagaimana telah tsabit dalam hadits-hadits shahih. Bahkan, dalam kondisi-kondisi tertentu sangat diperlukan untuk menumbuhkan semangat jihad. Namun jika dilakukan secara berlebihan (sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Hajar dan An-Nawawi), maka hal itu adalah tercela.
HUKUM NYANYIAN DAN MUSIK
Perlu dicatat bahwa lantunan syair yang dikenal di jaman Rasulaullah shallallaahu ’alaihi wasallam sangatlah berbeda dengan nyanyian [al-ghina’ atau as-simaa’]. Imam Ahmad Al-Qurthubi menyatakan dalam Kasyful-Qina’ halaman 47 : Al-Ghina’ secara bahasa adalah meninggikan suara ketika bersya’ir atau yang semisal dengannya (seperti rajaz secara khusus). Di dalam Al-Qamus (halaman 1187), al-ghinaa’ dikatakan sebagai suara yang diperindah. Yang lebih jelas adalah apa yang dikatakan oleh Asy-Syathibi :
Kamilah yang membaiat Muhammad
Untuk berjihad selamanya selama kami masih hidup
Maka Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam menjawab mereka dengan :
Ya Allah, tidak ada kebaikan selain kebaikan akhirat
Maka ampunilah kaum Anshar dan Muhajirin
[selesai perkataan Asy-Syathibi dalam Kitabul-I’tisham juz 1 hal. 207-208 – Maktabah Al-Misykah].
Para ulama telah membagi al-ghina’ menjadi dua :
1. Nyanyian yang seperti kita temukan dalam berbagai aktifitas sehari-hari dalam perjalanan, pekerjaan, mengangkut beban, dan sebagainya. Sebagian di antara mereka ada yang menghibur dirinya dengan bernyanyi untuk menambah gairah dan semangat, menghilangkan kejenuhan dan rasa sepi. Contoh yang pertama ini di antaranya adalah al-hida’, lagu yang dinyanyikan oleh sebagian kaum perempuan untuk menenangkan tangis atau rengekan buah hati mereka, atau nyanyian gadis-gadis kecil dalam sendau-gurau permainan mereka, wallaahu a’lam [Kaffur-Ri’a’ halaman 59-60 dan Kasyful-Qina’ halaman 47-49]. Disebutkan oleh para ulama bahwa jenis pertama ini selamat atau bersih dari penyebutan kata-kata keji dan hal-hal yang diharamkan. Ringkasnya, nyanyian – atau lebih tepatnya syair (karena lebih mirip kepada syair) – seperti ini adalah diperbolehkan.
2. Nyanyian yang dilakukan oleh penyanyi laki-laki atau perempuan, artis, dan yang semacamnya yang mengenal seluk beluk gubahan (nada dan irama – sebagaimana lazim ada di jaman sekarang) suatu lagu, dari rangkaian syair; kemudian mereka mendendangkannya dengan nada atau irama yang teratur, halus, lembut, dan menyentuh hati, membangkitkan gejolak, serta menggairahkannya. Nyanyian jenis kedua inilah yang diperselisihkan oleh para ulama. Para ulama berbeda pendapat menjadi tiga kelompok : mengharamkannya, memakruhkannya, dan membolehkannya.
Khilaf yang terjadi dalam nyanyian jenis kedua di atas, yang paling rajih adalah pendapat yang mengharamkannya atau minimal membencinya (makruh) – untuk ditinggalkan. Apalagi jika diiringi oleh alat musik, maka ini lebih jelas dan kuat lagi keharamannya. Dalil-dalil yang dijadikan dasar keharaman adalah sebagai berikut:
Dalil Al-Qur’an
1. Firman Allah ta’ala :
Ibnu Katsir menukil perkataan Ibnu Jarir dalam Tafsirnya :
Ibnu Katsir membawakan perkataan Ibnu Mas’ud dari jalan lain ‘Ammar, dari Sa’id bin Jubair, dari Abu Shahbaa’ Al-Bakri, dari Ibnu Mas’ud radliyallaahu ‘anhu. Atsar ini diriwayatkan juga oleh Al-Hakim no. 3542, ia berkata : Hadits ini sanadnya shahih, namun tidak dikeluarkan oleh Al-Bukhari dan Muslim. Tashhih ini disepakati oleh Adz-Dzahabi, dan memang seperti itulah keadaannya (atas keshahihannya).
Al-Hasan Al-Bashri mengatakan bahwa ayat tersebut turun berkenaan dengan nyanyian (ghinaa’) dan seruling (mazaamir).
Ibnu Mas’ud merupakan salah satu pembesar shahabat yang perkataan lebih diunggulkan daripada selainnya. Tentang Ibnu Mas’ud, As-Sunnah Ash-Shahiihah menjadi saksi :
Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhu ketika menafsirkan {لَهْوَ الْحَدِيثِ} juga dengan Nyanyian {الغناء}.
Lihat pula atsar ini dalam Tafsir Ath-Thabari. Tentang Ibnu ‘Abbas, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam telah berdoa untuknya : {اللهم فقهه في الدين} “Ya Allah, pahamkanlah ia dalam masalah agama” [HR. Muslim no. 2477]. Atas doa ini, para shahabat dan ulama lainnya memberikan gelar kepadanya : Turjumanul-Qur’an.
Mujahid juga menafsirkan sebagaimana perkataan dua imamnya terdahulu, dimana beliau berkata tentang ayat ini :
Syu’aib bin Yasar berkata :
Penafsiran lahwul-hadiits dengan al-ghinaa’ (nyanyian) ditegaskan oleh Ibnu Katsir – selain dari yang telah disebutkan di atas – juga merupakan penafsiran dari Jabir, Sa’id bin Jubair, Mak-hul, ‘Amr bin Syu’aib, dan ‘Ali bin Nadiimah rahimahumullah.
Asy-Syaukani menjelaskan :
2. Firman Allah ta’ala :
Ketika menafsirkan ayat { وَأَنتُمْ سَامِدُونَ} “Sedang kamu melengahkan(nya)?”, Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma dalam salah satu riwayat berkata : { هو الغناء} “Maksudnya adalah nyanyian” [Diriwayatkan oleh Ath-Thabari dalam Tafsir-nya no. 25273].
Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma ketika menafsirkan وَأَنتُمْ سَامِدُونَ ; maka ia berkata : “Yaitu Al-Ghinaa’ (nyanyian)” [Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dalam Tafsir-nya no. 25282-25283, Al-Bazzar no. 4724, Al-dan Baihaqi 10/223. Berkata Al-Haitsami dalam Majma’uz-Zawaaid juz 7 no. 11381 : “Rijaaluhu rijaalush-shahiih”].
Al-Qurthubi menjelaskan :
3. Firman Allah ta’ala :
Ketika menafsirkan { وَالّذِينَ لاَ يَشْهَدُونَ الزّورَ } “Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu” , Mujahid berkata : { لا يسمعون الغِناء} “(yaitu) orang-orang yang tidak mendengarkan nyanyian” [Lihat Tafsir Ath-Thabari QS. Al-Furqaan : 72].
4. Firman Allah ta’ala :
Ibnu Katsir berkata :
Adapun Al-Qurthubi juga menyebutkan hal yang hampir serupa dengan perkataannya :
Ibnu Taimiyyah menjelaskan :
Beberapa penafsiran ayat dari para ulama terdahulu di atas menunjukkan bahwa nyanyian di jaman mereka (jaman para shahabat dan tabi’in) merupakan sesuatu yang sangat dibenci dan termasuk perbuatan yang sia-sia.
http://abul-jauzaa.blogspot.com/2008/05/hukum-musik-dan-nyanyian-1.html
Banyak hadits Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam yang menjelaskan tentang dibencinya banyak bersya’ir :
عن بن عمر رضى الله تعالى عنهما عن النبي صلى الله عليه وسلم قال لأن يمتلئ جوف أحدكم قيحا خير له من أن يمتلئ شعرا
Dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhuma dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam yang bersabda : “Lebih baik salah seorang dari kalian memenuhi perutnya dengan nanah daripada ia penuhi dengan sya’ir” [HR. Al-Bukhari no. 5802].
عن أبي هريرة رضى الله تعالى عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم لأن يمتلئ جوف رجل قيحا يريه خير من أن يمتلئ شعرا
Dari Abi Hurairah radliyallaahu ‘anhu ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam : “Lebih baik salah seorang dari kalian memenuhi perutnya dengan nanah hingga merusak perutnya daripada ia penuhi dengan sya’ir” [HR. Al-Bukhari no. 5803 dan Muslim no. 2257].Ibnu Hajar berkata :
هذه المبالغة في ذم الشعر أن الذين خوطبوا بذلك كانوا في
غاية الإقبال عليه والاشتغال به فزجرهم عنه ليقبلوا على القرآن وعلى ذكر
الله تعالى وعبادته فمن أخذ من ذلك ما أمر به لم يضره ما بقي عنده مما سوى
ذلك والله أعلم
“Faktor munculnya celaan yang cukup keras tersebut karena orang yang
diajak bicara adalah orang-orang yang menyibukkan diri dan menghabiskan
waktunya hanya untuk sya’ir, sehingga Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam
mencela mereka agar mereka kembali kepada Al-Qur’an, berdzikir, dan
beribadah kepada Allah. Barangsiapa telah melaksanakan apa yang
diperintahkan kepadanya, maka tidak mengapa jika sisa waktunya digunakan untuk hal lain. Wallaahu a’lam. [Fathul-Bari – 10/550]
عن عمرو بن الشريد عن أبيه قال ردفت رسول الله صلى الله
عليه وسلم يوما فقال هل معك من شعر أمية بن أبي الصلت شيئا قلت نعم قال هيه
فأنشدته بيتا فقال هيه ثم أنشدته بيتا فقال هيه حتى أنشدته مائة بيت
Dari ‘Amru bin Asy-Syarid dari ayahnya (Asy-Syarid bin Suwaid
Ats-Tsaqafy) ia berkata : ”Suatu hari aku dibonceng oleh Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam. Maka beliau bertanya : ‘Apakah engkau hafal syair Umayyah bin Abish-Shalat ?’. Aku menjawab : ‘Ya’. Beliau berkata : ‘Lantunkanlah !’. Maka aku pun melantunkan satu bait syair. (Setelah selesai), beliau pun berkata : ‘Teruskanlah !’.
Maka aku pun melantunkan satu bait syair lagi. (Setelah selesai),
beliau pun berkata hal yang sama : ‘Teruskanlah !’. Hingga aku
melantunkan sekitar seratus bait syair” [HR. Muslim no. 2255].An-Nawawi berkata ketika menjelaskan hadits di atas :
وَمَقْصُود الْحَدِيث أَنَّ النَّبِيّ صَلَّى اللَّه
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِسْتَحْسَنَ شِعْر أُمِّيَّة , وَاسْتَزَادَ مِنْ
إِنْشَاده لِمَا فِيهِ مِنْ الْإِقْرَار بِالْوَحْدَانِيَّةِ وَالْبَعْث ,
فَفِيهِ جَوَاز إِنْشَاد الشِّعْر الَّذِي لَا فُحْش فِيهِ , وَسَمَاعه ,
سَوَاء شِعْر الْجَاهِلِيَّة وَغَيْرهمْ , وَأَنَّ الْمَذْمُوم مِنْ
الشِّعْر الَّذِي لَا فُحْش فِيهِ إِنَّمَا هُوَ الْإِكْثَار مِنْهُ ,
وَكَوْنه غَالِبًا عَلَى الْإِنْسَان . فَأَمَّا يَسِيره فَلَا بَأْس
بِإِنْشَادِهِ وَسَمَاعه وَحِفْظه
”Maksud hadits ini bahwa Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam
menganggap baik syair Umayyah dan meminta tambahan syair terhadap apa
yang ada di dalamnya dari pengakuan terhadap keesaan (Allah) dan hari
akhir. Dan di dalamnya terdapat pembolehan terhadap pelantunan syair
yang tidak mengandung kekejian, sekaligus mendengarkannya. Sama saja,
apakah syair tersebut merupakan syair Jahiliyyah atau selainnya. Dan
yang harus dijauhi dari perkara syair yang tidak mengandung kekejian
adalah tidak berlebihan padanya. Dan itulah yang biasanya terjadi pada
diri manusia. Adapun sedikit syair dengan cara melantunkan,
mendengarkannya, atau menghafalnya maka tidak mengapa” [Syarah Shahih Muslim lin-Nawawi hal. 1572 – Maktabah Al-Misykah].Bersyair pada asalnya adalah boleh sebagaimana telah tsabit dalam hadits-hadits shahih. Bahkan, dalam kondisi-kondisi tertentu sangat diperlukan untuk menumbuhkan semangat jihad. Namun jika dilakukan secara berlebihan (sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Hajar dan An-Nawawi), maka hal itu adalah tercela.
HUKUM NYANYIAN DAN MUSIK
Perlu dicatat bahwa lantunan syair yang dikenal di jaman Rasulaullah shallallaahu ’alaihi wasallam sangatlah berbeda dengan nyanyian [al-ghina’ atau as-simaa’]. Imam Ahmad Al-Qurthubi menyatakan dalam Kasyful-Qina’ halaman 47 : Al-Ghina’ secara bahasa adalah meninggikan suara ketika bersya’ir atau yang semisal dengannya (seperti rajaz secara khusus). Di dalam Al-Qamus (halaman 1187), al-ghinaa’ dikatakan sebagai suara yang diperindah. Yang lebih jelas adalah apa yang dikatakan oleh Asy-Syathibi :
لكن العرب لم يكن لها من تحسين النغمات ما يجرى مجرى ما
الناس عليه اليوم بل كانوا ينشدون الشعر مطلقا من غير ان يتعلموا هذه
الترجيعات التي حدثت بعدهم بل كانوا يرققون الصوت ويمططونه على وجه يليق
بأمية العرب الذين لم يعرفوا صنائع الموسيقى فلم يكن فيه إلذاذ ولا إطراب
لهى وإنما كان لهم شىء من النشاط كما كان الحبشة وعبد الله بن رواحة يحدوان
بين يدى رسول الله صلى الله عليه وسلم
وكما كان الأنصار يقولون عند حفر الخندق
نحن الذين بايعوا محمداًَ
على الجهاد ما حيينا أبداًَ
فيجيبهم صلى الله عليه وسلم
اللهم لا خير إلا خير الأخرة
فاغفر للأنصار والمهاجرة
“Akan tetapi orang Arab tidaklah mengenal cara memperindah lantunan
seperti apa yang dilakukan oleh manusia pada hari ini. Akan tetapi
mereka melantunkan syair secara mutlak tanpa mempelajari notasi-notasi
yang muncul setelahnya. Mereka melembutkan suara dan memanjangkannya
sebagaimana kebiasaan kaum Arab yang ummi yang mereka tidak mengetahui
alunan musik. Maka tidak akan menimbulkan keterlenaan dan membuat
bergoyang yang melenakan. Hal itu hanyalah sesuatu yang membangkitkan
semangat sebagaimana Abdullah bin Rawahah melantunkan syairnya di
hadapan Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam. Juga sebagaimana kaum Anshar yang melantunkannya ketika menggali parit (ketika menjelang perang Khandaq) :على الجهاد ما حيينا أبداًَ
فيجيبهم صلى الله عليه وسلم
اللهم لا خير إلا خير الأخرة
فاغفر للأنصار والمهاجرة
Kamilah yang membaiat Muhammad
Untuk berjihad selamanya selama kami masih hidup
Maka Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam menjawab mereka dengan :
Ya Allah, tidak ada kebaikan selain kebaikan akhirat
Maka ampunilah kaum Anshar dan Muhajirin
[selesai perkataan Asy-Syathibi dalam Kitabul-I’tisham juz 1 hal. 207-208 – Maktabah Al-Misykah].
Para ulama telah membagi al-ghina’ menjadi dua :
1. Nyanyian yang seperti kita temukan dalam berbagai aktifitas sehari-hari dalam perjalanan, pekerjaan, mengangkut beban, dan sebagainya. Sebagian di antara mereka ada yang menghibur dirinya dengan bernyanyi untuk menambah gairah dan semangat, menghilangkan kejenuhan dan rasa sepi. Contoh yang pertama ini di antaranya adalah al-hida’, lagu yang dinyanyikan oleh sebagian kaum perempuan untuk menenangkan tangis atau rengekan buah hati mereka, atau nyanyian gadis-gadis kecil dalam sendau-gurau permainan mereka, wallaahu a’lam [Kaffur-Ri’a’ halaman 59-60 dan Kasyful-Qina’ halaman 47-49]. Disebutkan oleh para ulama bahwa jenis pertama ini selamat atau bersih dari penyebutan kata-kata keji dan hal-hal yang diharamkan. Ringkasnya, nyanyian – atau lebih tepatnya syair (karena lebih mirip kepada syair) – seperti ini adalah diperbolehkan.
2. Nyanyian yang dilakukan oleh penyanyi laki-laki atau perempuan, artis, dan yang semacamnya yang mengenal seluk beluk gubahan (nada dan irama – sebagaimana lazim ada di jaman sekarang) suatu lagu, dari rangkaian syair; kemudian mereka mendendangkannya dengan nada atau irama yang teratur, halus, lembut, dan menyentuh hati, membangkitkan gejolak, serta menggairahkannya. Nyanyian jenis kedua inilah yang diperselisihkan oleh para ulama. Para ulama berbeda pendapat menjadi tiga kelompok : mengharamkannya, memakruhkannya, dan membolehkannya.
Khilaf yang terjadi dalam nyanyian jenis kedua di atas, yang paling rajih adalah pendapat yang mengharamkannya atau minimal membencinya (makruh) – untuk ditinggalkan. Apalagi jika diiringi oleh alat musik, maka ini lebih jelas dan kuat lagi keharamannya. Dalil-dalil yang dijadikan dasar keharaman adalah sebagai berikut:
Dalil Al-Qur’an
1. Firman Allah ta’ala :
وَمِنَ النّاسِ مَن يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلّ
عَن سَبِيلِ اللّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتّخِذَهَا هُزُواً أُوْلَـَئِكَ
لَهُمْ عَذَابٌ مّهِينٌ
Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan
yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa
pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan
memperoleh azab yang menghinakan [QS. Luqman : 6].Ibnu Katsir menukil perkataan Ibnu Jarir dalam Tafsirnya :
حدثني يونس بن عبد الأعلى قال: أخبرنا ابن وهب, أخبرني
يزيد بن يونس عن أبي صخر عن أبي معاوية البجلي عن سعيد بن جبير عن أبي
الصهباء البكري أنه سمع عبد الله بن مسعود وهو يسأل عن هذه الاَية {ومن
الناس من يشتري لهو الحديث ليضل على سبيل الله} فقال عبد الله بن مسعود:
الغناء والله الذي لا إله إلا هو, يرددها ثلاث مرات
Telah menceritakan kepadaku Yunus bin ‘Abdil-A’laa ia berkata : Telah
mengkhabarkan kepadaku Ibnu Wahb : Telah mengkhabarkan kepadaku Yazid
bin Yunus, dari Shakhr, dari Abu Mu’awiyyah Al-Bajaly, dari Sa’id bin
Jubair, dari Abu Shahbaa’ Al-Bakry bahwasanya ia mendengar ‘Abdullah bin
Mas’ud radliyallaahu ‘anhu ketika ia bertanya kepada beliau tentang ayat “Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah” ; maka beliau menjawab : “Al-Ghinaa’ (nyanyian)”. Demi Allah yang tidak ada tuhan yang berhak disembah melainkan Dia, beliau mengulanginya tiga kali [Tafsir Ibnu Katsir QS. Luqman : 6 – Free Program from Islamspirit].Ibnu Katsir membawakan perkataan Ibnu Mas’ud dari jalan lain ‘Ammar, dari Sa’id bin Jubair, dari Abu Shahbaa’ Al-Bakri, dari Ibnu Mas’ud radliyallaahu ‘anhu. Atsar ini diriwayatkan juga oleh Al-Hakim no. 3542, ia berkata : Hadits ini sanadnya shahih, namun tidak dikeluarkan oleh Al-Bukhari dan Muslim. Tashhih ini disepakati oleh Adz-Dzahabi, dan memang seperti itulah keadaannya (atas keshahihannya).
Al-Hasan Al-Bashri mengatakan bahwa ayat tersebut turun berkenaan dengan nyanyian (ghinaa’) dan seruling (mazaamir).
Ibnu Mas’ud merupakan salah satu pembesar shahabat yang perkataan lebih diunggulkan daripada selainnya. Tentang Ibnu Mas’ud, As-Sunnah Ash-Shahiihah menjadi saksi :
عن أبي الأحوص قال كنا في دار أبي موسى مع نفر من أصحاب
عبد الله وهم ينظرون في مصحف فقام عبد الله فقال أبو مسعود ما اعلم رسول
الله صلى الله عليه وسلم ترك بعده اعلم بما انزل الله من هذا القائم فقال
أبو موسى أما لئن قلت ذاك لقد كان يشهد إذا غبنا ويؤذن إذا حجبنا
Dari Abul-Ahwash ia berkata,”Kami pernah berada di rumah Abu Musa
beserta beberapa orang shahabat Abdullah bin Mas’ud. Mereka sedang
menelaah mushhaf Al-Qur’an, lalu Abdullah bin Mas’ud berdiri. Lalu kata
Abu Mas’ud,”Sepengetahuanku, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam
tidaklah meninggalkan orang yang lebih mengerti tentang Al-Qur’an
daripada orang yang berdiri tadi setelah beliau wafat”. Kata Abu
Musa,”Kalau engkau mengatakan demikian, Abdullah bin Mas’ud memang
selalu menyertai Rasulullah ketika kita tidak turut serta, dan dia
diijinkan masuk ke rumah beliau ketika kita tidak diijinkan masuk” [HR.
Muslim no. 2461].Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhu ketika menafsirkan {لَهْوَ الْحَدِيثِ} juga dengan Nyanyian {الغناء}.
حدثنا حفص بن عمر قال أخبرنا خالد بن عبد الله قال أخبرنا
عطاء بن السائب عن سعيد بن جبير عن بن عباس ومن الناس من يشتري لهو الحديث
قال الغناء وأشباهه
Telah menceritakan kepada kami Hafsh bin ‘UMar, ia berkata : Telah
mengkhabarakan kepada kami Khalid bin ‘Abdillah, ia berkata : Telah
mengkhabarkan kepada kami ‘Athaa’ bin As-Saaib, dari Sa’id bin Jubair,
dari Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma : “Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah” ; beliau berkata : “Al-Ghinaa’ (nyanyian) dan yang menyerupainya” [HR. Al-Bukhari dalam Al-Adaabul-Mufrad no. 786 dan 1265; shahih].Lihat pula atsar ini dalam Tafsir Ath-Thabari. Tentang Ibnu ‘Abbas, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam telah berdoa untuknya : {اللهم فقهه في الدين} “Ya Allah, pahamkanlah ia dalam masalah agama” [HR. Muslim no. 2477]. Atas doa ini, para shahabat dan ulama lainnya memberikan gelar kepadanya : Turjumanul-Qur’an.
Mujahid juga menafsirkan sebagaimana perkataan dua imamnya terdahulu, dimana beliau berkata tentang ayat ini :
الـمغنـي والـمغنـية بـالـمال الكثـير, أو استـماع إلـيه, أو إلـى مثله من البـاطل.
”Membayar penyanyi laki-laki dan perempuan dengan biaya yang mahal
dan mendengarkannya atau yang sepertinya, termasuk perkara-perkara yang
bathil” [Diriwayatkan oleh Ath-Thabari dalam Tafsir-nya no. 21360; dengan sanad shahih]. Syu’aib bin Yasar berkata :
سألت عكرمة عن ( لهو الحديث ) ؟ قال : هو الغناء.
”Aku pernah bertanya kepada ’Ikrimah tentang Lahwul-Hadiits ; maka ia menjawab : ”Ia adalah nyanyian” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam At-Tarikh Al-Kabir no. 2556, Ibnu Jarir dalam Tafsir-nya no. 21361-21362, Ibnu Abid-Dun-ya dalam Dzammul-Malaahi – dan ini adalah lafadhnya - , dan yang lainnya. Asy-Syaikh Al-Albani dalam At-Tahrim berkata : ”Hasanul-isnad, insyaAllah”].Penafsiran lahwul-hadiits dengan al-ghinaa’ (nyanyian) ditegaskan oleh Ibnu Katsir – selain dari yang telah disebutkan di atas – juga merupakan penafsiran dari Jabir, Sa’id bin Jubair, Mak-hul, ‘Amr bin Syu’aib, dan ‘Ali bin Nadiimah rahimahumullah.
Asy-Syaukani menjelaskan :
ولهو الحديث كل ما يلهى عن الخير من الغناء والملاهي
والأحاديث المكذوبة وكل ما هو منكر….. قال القرطبي: إن أولى ما قيل في هذا
الباب هو تفسير لهو الحديث بالغناء، قال: وهو قول الصحابة والتابعين،
”Dan lahwal-hadiits maknanya adalah : Segala sesuatu yang
melalaikan seseorang dari kebaikan, contohnya adalah nyanyian,
permainan, perkataan-perkataan (dongeng) yang dusta, dan setiap perkara
yang munkar……………….. Dan berkata Al-Qurthubi : Sesungguhnya yang
didahulukan (tepat) adalah apa yang telah dikatakan dalam bab ini bahwa
tafsir dari lahwul-hadiits adalah nyanyian (al-ghinaa’). Hal itu merupakan perkataan dari para shahabat dan tabi’in” [Fathul-Qadiir – Free Program from Islamspirit]. 2. Firman Allah ta’ala :
أَفَمِنْ هَـَذَا الْحَدِيثِ تَعْجَبُونَ * وَتَضْحَكُونَ وَلاَ تَبْكُونَ * وَأَنتُمْ سَامِدُونَ
“Maka apakah kamu merasa heran terhadap pemberitaan ini?. Dan
kamu mentertawakan dan tidak menangis?. Sedang kamu melengahkan(nya)?” [QS. An-Najm : 59-61].Ketika menafsirkan ayat { وَأَنتُمْ سَامِدُونَ} “Sedang kamu melengahkan(nya)?”, Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma dalam salah satu riwayat berkata : { هو الغناء} “Maksudnya adalah nyanyian” [Diriwayatkan oleh Ath-Thabari dalam Tafsir-nya no. 25273].
Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma ketika menafsirkan وَأَنتُمْ سَامِدُونَ ; maka ia berkata : “Yaitu Al-Ghinaa’ (nyanyian)” [Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dalam Tafsir-nya no. 25282-25283, Al-Bazzar no. 4724, Al-dan Baihaqi 10/223. Berkata Al-Haitsami dalam Majma’uz-Zawaaid juz 7 no. 11381 : “Rijaaluhu rijaalush-shahiih”].
Al-Qurthubi menjelaskan :
سمد لنا أي غن لنا، فكانوا إذا سمعوا القرآن يتلى تغنوا ولعبوا حتى لا يسمعوا.
“Samada lanaa ; artinya adalah : ghanna lanaa (bernyanyilah
untuk kami). Yaitu, jika mereka mendengarkan Al-Qur’an yang dibacakan,
maka mereka bernyanyi-nyanyi dan bermain-main hingga mereka tidak
mendengarkannya (Al-Qur’an)” [Tafsir Al-Qurthubi – Free Program from Islamspirit].3. Firman Allah ta’ala :
وَالّذِينَ لاَ يَشْهَدُونَ الزّورَ وَإِذَا مَرّواْ بِاللّغْوِ مَرّوا كِراماً
“Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu, dan
apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan
perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan
menjaga kehormatan dirinya.” [QS. Al-Furqan : 72].Ketika menafsirkan { وَالّذِينَ لاَ يَشْهَدُونَ الزّورَ } “Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu” , Mujahid berkata : { لا يسمعون الغِناء} “(yaitu) orang-orang yang tidak mendengarkan nyanyian” [Lihat Tafsir Ath-Thabari QS. Al-Furqaan : 72].
4. Firman Allah ta’ala :
وَاسْتَفْزِزْ مَنِ اسْتَطَعْتَ مِنْهُمْ بِصَوْتِكَ
وَأَجْلِبْ عَلَيْهِمْ بِخَيْلِكَ وَرَجِلِكَ وَشَارِكْهُمْ فِي الأمْوَالِ
وَالأولادِ وَعِدْهُمْ وَمَا يَعِدُهُمُ الشَّيْطَانُ إِلا غُرُورًا
“Dan hasunglah siapa yang kamu sanggupi di antara mereka dengan
ajakanmu, dan kerahkanlah terhadap mereka pasukan berkuda dan pasukanmu
yang berjalan kaki dan berserikatlah dengan mereka pada harta dan
anak-anak dan beri janjilah mereka. Dan tidak ada yang dijanjikan oleh setan kepada mereka melainkan tipuan belaka.” [QS. Al-Israa’ : 64].Ibnu Katsir berkata :
وقوله تعالى: {واستفزز من استطعت منهم بصوتك} قيل هو الغناء قال مجاهد باللهو والغناء أي استخفهم بذلك
”Dan firman-Nya : Dan hasunglah siapa yang kamu sanggupi di antara mereka dengan ajakanmu ; dikatakan, yaitu dengan nyanyian. Mujahid berkata : ”Dengan permainan dan nyanyian, yaitu meremehkannya dengan hal tersebut” [Tafsir Ibnu Katsir – Free Prgoram from Islamspirit].Adapun Al-Qurthubi juga menyebutkan hal yang hampir serupa dengan perkataannya :
“بصوتك” وصوته كل داع يدعو إلى معصية الله تعالى؛ عن ابن عباس. مجاهد: الغناء والمزامير واللهو. الضحاك: صوت المزمار.
”Dengan suaramu/ajakanmu ; dan suaranya yaitu setiap hal
yang mengajak kepada kemaksiatan terhadap Allah, hal itu berasal dari
perkataan Ibnu ’Abbas. Adapun Mujahid, ia berkata : Nyanyian, seruling,
dan permainan. Berkata Adl-Dlahhak : Suara seruling” [Tafsir Al-Qurthubi – Free Program from Islamspirit].Ibnu Taimiyyah menjelaskan :
وقد فسر ذلك طائفة من السلف بصوت الغناء. وهو شامل له ولغيره من الأصوات المستفزة لأصحابها عن سبيل الله.
”Dan sungguh sebagian ulama salaf telah menafsirkan bi-shautika dengan : ”Nyanyian (al-ghinaa’). Hal itu mencakup seluruh hal selainnya dari jenis-jenis suara yang menghalangi pelakunya dari jalan Allah” [Majmu’ Fataawaa 10/180 – Maktabah Al-Misykah].Beberapa penafsiran ayat dari para ulama terdahulu di atas menunjukkan bahwa nyanyian di jaman mereka (jaman para shahabat dan tabi’in) merupakan sesuatu yang sangat dibenci dan termasuk perbuatan yang sia-sia.
http://abul-jauzaa.blogspot.com/2008/05/hukum-musik-dan-nyanyian-1.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar