Kategori: Majalah AsySyariah Edisi 039
(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Ishaq Muslim Al-Atsari)
Proses mencari jodoh dalam Islam bukanlah “membeli kucing dalam karung” sebagaimana sering dituduhkan. Namun justru diliputi oleh perkara yang penuh adab. Bukan “coba dulu baru beli” kemudian “habis manis sepah dibuang”, sebagaimana jamaknya pacaran kawula muda di masa sekarang.
Islam telah memberikan konsep yang jelas tentang tatacara ataupun proses sebuah pernikahan yang berlandaskan Al-Qur`an dan As-Sunnah yang shahih. Berikut ini kami bawakan perinciannya:
1. Mengenal calon pasangan hidup
Sebelum seorang lelaki memutuskan untuk menikahi seorang wanita, tentunya ia harus mengenal terlebih dahulu siapa wanita yang hendak dinikahinya, begitu pula sebaliknya si wanita tahu siapa lelaki yang berhasrat menikahinya. Tentunya proses kenal-mengenal ini tidak seperti yang dijalani orang-orang yang tidak paham agama, sehingga mereka menghalalkan pacaran atau pertunangan dalam rangka penjajakan calon pasangan hidup, kata mereka. Pacaran dan pertunangan haram hukumnya tanpa kita sangsikan.
Adapun mengenali calon pasangan hidup di sini maksudnya adalah mengetahui siapa namanya, asalnya, keturunannya, keluarganya, akhlaknya, agamanya dan informasi lain yang memang dibutuhkan. Ini bisa ditempuh dengan mencari informasi dari pihak ketiga, baik dari kerabat si lelaki atau si wanita ataupun dari orang lain yang mengenali si lelaki/si wanita.
Yang perlu menjadi perhatian, hendaknya hal-hal yang bisa menjatuhkan kepada fitnah (godaan setan) dihindari kedua belah pihak seperti bermudah-mudahan melakukan hubungan telepon, sms, surat-menyurat, dengan alasan ingin ta’aruf (kenal-mengenal) dengan calon suami/istri. Jangankan baru ta’aruf, yang sudah resmi meminang pun harus menjaga dirinya dari fitnah. Karenanya, ketika Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdillah Al-Fauzan hafizhahullah ditanya tentang pembicaraan melalui telepon antara seorang pria dengan seorang wanita yang telah dipinangnya, beliau menjawab, “Tidak apa-apa seorang laki-laki berbicara lewat telepon dengan wanita yang telah dipinangnya, bila memang pinangannya telah diterima dan pembicaraan yang dilakukan dalam rangka mencari pemahaman sebatas kebutuhan yang ada, tanpa adanya fitnah. Namun bila hal itu dilakukan lewat perantara wali si wanita maka lebih baik lagi dan lebih jauh dari keraguan/fitnah. Adapun pembicaraan yang biasa dilakukan laki-laki dengan wanita, antara pemuda dan pemudi, padahal belum berlangsung pelamaran di antara mereka, namun tujuannya untuk saling mengenal, sebagaimana yang mereka istilahkan, maka ini mungkar, haram, bisa mengarah kepada fitnah serta menjerumuskan kepada perbuatan keji. Allah k berfirman:
Proses mencari jodoh dalam Islam bukanlah “membeli kucing dalam karung” sebagaimana sering dituduhkan. Namun justru diliputi oleh perkara yang penuh adab. Bukan “coba dulu baru beli” kemudian “habis manis sepah dibuang”, sebagaimana jamaknya pacaran kawula muda di masa sekarang.
Islam telah memberikan konsep yang jelas tentang tatacara ataupun proses sebuah pernikahan yang berlandaskan Al-Qur`an dan As-Sunnah yang shahih. Berikut ini kami bawakan perinciannya:
1. Mengenal calon pasangan hidup
Sebelum seorang lelaki memutuskan untuk menikahi seorang wanita, tentunya ia harus mengenal terlebih dahulu siapa wanita yang hendak dinikahinya, begitu pula sebaliknya si wanita tahu siapa lelaki yang berhasrat menikahinya. Tentunya proses kenal-mengenal ini tidak seperti yang dijalani orang-orang yang tidak paham agama, sehingga mereka menghalalkan pacaran atau pertunangan dalam rangka penjajakan calon pasangan hidup, kata mereka. Pacaran dan pertunangan haram hukumnya tanpa kita sangsikan.
Adapun mengenali calon pasangan hidup di sini maksudnya adalah mengetahui siapa namanya, asalnya, keturunannya, keluarganya, akhlaknya, agamanya dan informasi lain yang memang dibutuhkan. Ini bisa ditempuh dengan mencari informasi dari pihak ketiga, baik dari kerabat si lelaki atau si wanita ataupun dari orang lain yang mengenali si lelaki/si wanita.
Yang perlu menjadi perhatian, hendaknya hal-hal yang bisa menjatuhkan kepada fitnah (godaan setan) dihindari kedua belah pihak seperti bermudah-mudahan melakukan hubungan telepon, sms, surat-menyurat, dengan alasan ingin ta’aruf (kenal-mengenal) dengan calon suami/istri. Jangankan baru ta’aruf, yang sudah resmi meminang pun harus menjaga dirinya dari fitnah. Karenanya, ketika Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdillah Al-Fauzan hafizhahullah ditanya tentang pembicaraan melalui telepon antara seorang pria dengan seorang wanita yang telah dipinangnya, beliau menjawab, “Tidak apa-apa seorang laki-laki berbicara lewat telepon dengan wanita yang telah dipinangnya, bila memang pinangannya telah diterima dan pembicaraan yang dilakukan dalam rangka mencari pemahaman sebatas kebutuhan yang ada, tanpa adanya fitnah. Namun bila hal itu dilakukan lewat perantara wali si wanita maka lebih baik lagi dan lebih jauh dari keraguan/fitnah. Adapun pembicaraan yang biasa dilakukan laki-laki dengan wanita, antara pemuda dan pemudi, padahal belum berlangsung pelamaran di antara mereka, namun tujuannya untuk saling mengenal, sebagaimana yang mereka istilahkan, maka ini mungkar, haram, bisa mengarah kepada fitnah serta menjerumuskan kepada perbuatan keji. Allah k berfirman:
“Maka janganlah kalian tunduk (lembut mendayu-dayu) dalam berbicara
sehingga berkeinginan jeleklah orang yang di hatinya ada penyakit dan
ucapkanlah ucapan yang ma’ruf.” (Al-Ahzab: 32)
Seorang wanita tidak sepantasnya berbicara dengan laki-laki ajnabi
kecuali bila ada kebutuhan dengan mengucapkan perkataan yang ma’ruf,
tidak ada fitnah di dalamnya dan tidak ada keraguan (yang membuatnya
dituduh macam-macam).” (Al-Muntaqa min Fatawa Fadhilatusy Syaikh Shalih
bin Fauzan 3/163-164)
Beberapa hal yang perlu diperhatikan
Ada beberapa hal yang disenangi bagi laki-laki untuk memerhatikannya:
q Wanita itu shalihah, karena Nabi n bersabda:
تُنْكَحُ النِّسَاءُ لِأَرْبَعَةٍ: لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا
وَلِجَمَلِهَا وَلِدِيْنِهَا، فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّيْنِ تَرِبَتْ
يَدَاكَ
“Wanita itu (menurut kebiasaan yang ada, pent.) dinikahi karena
empat perkara, bisa jadi karena hartanya, karena keturunannya, karena
kecantikannya, dan karena agamanya. Maka pilihlah olehmu wanita yang
memiliki agama. Bila tidak, engkau celaka.” (HR. Al-Bukhari no. 5090 dan
Muslim no. 3620 dari Abu Hurairah z)
q Wanita itu subur rahimnya. Tentunya bisa diketahui dengan melihat ibu atau saudara perempuannya yang telah menikah.
Rasulullah n pernah bersabda:
تَزَوَّجُوْا الْوَدُوْدَ الْوَلُوْدَ، فَإِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمْ
“Nikahilah oleh kalian wanita yang penyayang lagi subur, karena aku
berbangga-bangga di hadapan umat yang lain pada kiamat dengan banyaknya
jumlah kalian.” (HR. An-Nasa`i no. 3227, Abu Dawud no. 1789,
dishahihkan Al-Imam Al-Albani t dalam Irwa`ul Ghalil no. 1784)
q Wanita tersebut masih gadis1, yang dengannya akan dicapai kedekatan yang sempurna.
Jabir bin Abdillah c ketika memberitakan kepada Rasulullah n bahwa ia telah menikah dengan seorang janda, beliau n bersabda:
فَهَلاَّ جَارِيَةً تُلاَعِبُهَا وَتُلاَعِبُكَ؟
“Mengapa engkau tidak menikah dengan gadis hingga engkau bisa mengajaknya bermain dan dia bisa mengajakmu bermain?!”
Namun ketika Jabir mengemukakan alasannya, bahwa ia memiliki banyak
saudara perempuan yang masih belia, sehingga ia enggan mendatangkan di
tengah mereka perempuan yang sama mudanya dengan mereka sehingga tak
bisa mengurusi mereka, Rasulullah n memujinya, “Benar apa yang engkau
lakukan.” (HR. Al-Bukhari no. 5080, 4052 dan Muslim no. 3622, 3624)
Dalam sebuah hadits, Rasulullah n bersabda:
عَلَيْكُمْ بِالْأَبْكَارِ، فَإِنَّهُنَّ أَعْذَبُ أَفْوَاهًا وَأَنْتَقُ أَرْحَامًا وَأَرْضَى بِالْيَسِيْرِ
“Hendaklah kalian menikah dengan para gadis karena mereka lebih
segar mulutnya, lebih banyak anaknya, dan lebih ridha dengan yang
sedikit.” (HR. Ibnu Majah no. 1861, dihasankan Al-Imam Al-Albani t dalam
Ash-Shahihah no. 623)
2. Nazhor (melihat calon pasangan hidup)
Seorang wanita pernah datang kepada Rasulullah n untuk menghibahkan dirinya. Si wanita berkata:
ياَ رَسُوْلَ اللهِ، جِئْتُ أَهَبُ لَكَ نَفْسِي. فَنَظَرَ إِلَيْهَا
رَسُوْلُ اللهِ n فَصَعَّدَ النَّظَرَ فِيْهَا وَصَوَّبَهُ، ثُمَّ طَأْطَأَ
رَسُوْلُ اللهِ n رًأْسَهُ
“Wahai Rasulullah! Aku datang untuk menghibahkan diriku kepadamu.”
Rasulullah n pun melihat ke arah wanita tersebut. Beliau mengangkat dan
menurunkan pandangannya kepada si wanita. Kemudian beliau menundukkan
kepalanya. (HR. Al-Bukhari no. 5087 dan Muslim no. 3472)
Hadits ini menunjukkan bila seorang lelaki ingin menikahi seorang
wanita maka dituntunkan baginya untuk terlebih dahulu melihat calonnya
tersebut dan mengamatinya. (Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim, 9/215-216)
Oleh karena itu, ketika seorang sahabat ingin menikahi wanita Anshar, Rasulullah n menasihatinya:
انْظُرْ إِلَيْهَا، فَإِنَّ فِي أَعْيُنِ الْأَنْصَارِ شَيْئًا، يَعْنِي الصِّغَرَ
“Lihatlah wanita tersebut, karena pada mata orang-orang Anshar ada
sesuatu.” Yang beliau maksudkan adalah mata mereka kecil. (HR. Muslim
no. 3470 dari Abu Hurairah z)
Demikian pula ketika Al-Mughirah bin Syu’bah z meminang seorang
wanita, Rasulullah n bertanya kepadanya, “Apakah engkau telah melihat
wanita yang kau pinang tersebut?” “Belum,” jawab Al-Mughirah. Rasulullah
n bersabda:
انْظُرْ إِلَيْهَا، فَإِنَّهُ أَحْرَى أَنْ يُؤْدَمَ بَيْنَكُمَا
“Lihatlah wanita tersebut, karena dengan seperti itu akan lebih
pantas untuk melanggengkan hubungan di antara kalian berdua (kelak).”
(HR. An-Nasa`i no. 3235, At-Tirmidzi no.1087. Dishahihkan Al-Imam
Al-Albani t dalam Ash-Shahihah no. 96)
Al-Imam Al-Baghawi t berkata, “Dalam sabda Rasulullah n kepada
Al-Mughirah z: “Apakah engkau telah melihat wanita yang kau pinang
tersebut?” ada dalil bahwa sunnah hukumnya ia melihat si wanita sebelum
khitbah (pelamaran), sehingga tidak memberatkan si wanita bila ternyata
ia membatalkan khitbahnya karena setelah nazhor ternyata ia tidak
menyenangi si wanita.” (Syarhus Sunnah 9/18)
Bila nazhor dilakukan setelah khitbah, bisa jadi dengan khitbah
tersebut si wanita merasa si lelaki pasti akan menikahinya. Padahal
mungkin ketika si lelaki melihatnya ternyata tidak menarik hatinya lalu
membatalkan lamarannya, hingga akhirnya si wanita kecewa dan sakit hati.
(Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim, 9/214)
Sahabat Muhammad bin Maslamah z berkata, “Aku meminang seorang
wanita, maka aku bersembunyi untuk mengintainya hingga aku dapat
melihatnya di sebuah pohon kurmanya.” Maka ada yang bertanya kepada
Muhammad, “Apakah engkau melakukan hal seperti ini padahal engkau adalah
sahabat Rasulullah n?” Kata Muhammad, “Aku pernah mendengar Rasulullah n
bersabda:
إِذَا أَلْقَى اللهُ فيِ قَلْبِ امْرِئٍ خِطْبَةَ امْرَأَةٍ، فَلاَ بَأْسَ أَنْ يَنْظُرَ إِلَيْهَا
“Apabila Allah melemparkan di hati seorang lelaki (niat) untuk
meminang seorang wanita maka tidak apa-apa baginya melihat wanita
tersebut.” (HR. Ibnu Majah no. 1864, dishahihkan Al-Imam Al-Albani t
dalam Shahih Ibni Majah dan Ash-Shahihah no. 98)
Al-Imam Al-Albani t berkata, “Boleh melihat wanita yang ingin
dinikahi walaupun si wanita tidak mengetahuinya ataupun tidak
menyadarinya.” Dalil dari hal ini sabda Rasulullah n:
إِذَا خَطَبَ أَحَدُكُمُ امْرَأَةً، فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِ أَنْ
يَنْظُرَ إِلَيْهَا إِذَا كَانَ إِنَّمَا يَنْظُرُ إِلَيْهَا لِخِطْبَتِهِ،
وَإِنْ كَانَتْ لاَ تَعْلَمُ
‘Apabila seorang dari kalian ingin meminang seorang wanita, maka tidak ada dosa
baginya melihat si wanita apabila memang tujuan melihatnya untuk
meminangnya, walaupun si wanita tidak mengetahui (bahwa dirinya sedang
dilihat).” (HR. Ath-Thahawi, Ahmad 5/424 dan Ath-Thabarani dalam
Al-Mu’jamul Ausath 1/52/1/898, dengan sanad yang shahih, lihat
Ash-Shahihah 1/200)
Pembolehan melihat wanita yang hendak dilamar walaupun tanpa
sepengetahuan dan tanpa seizinnya ini merupakan pendapat yang dipegangi
jumhur ulama.
Adapun Al-Imam Malik t dalam satu riwayat darinya menyatakan, “Aku
tidak menyukai bila si wanita dilihat dalam keadaan ia tidak tahu karena
khawatir pandangan kepada si wanita terarah kepada aurat.” Dan
dinukilkan dari sekelompok ahlul ilmi bahwasanya tidak boleh melihat
wanita yang dipinang sebelum dilangsungkannya akad karena si wanita
masih belum jadi istrinya. (Al-Hawil Kabir 9/35, Syarhul Ma’anil Atsar
2/372, Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim 9/214, Fathul Bari 9/158)
Haramnya berduaan dan bersepi-sepi tanpa mahram ketika nazhar
Sebagai catatan yang harus menjadi perhatian bahwa ketika nazhar
tidak boleh lelaki tersebut berduaan saja dan bersepi-sepi tanpa mahram
(berkhalwat) dengan si wanita. Karena Rasulullah n bersabda:
لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلاَّ مَعَ ذِي مَحْرَمٍ
“Sekali-kali tidak boleh seorang laki-laki bersepi-sepi dengan
seorang wanita kecuali wanita itu bersama mahramnya.” (HR. Al-Bukhari
no. 1862 dan Muslim no. 3259)
Karenanya si wanita harus ditemani oleh salah seorang mahramnya,
baik saudara laki-laki atau ayahnya. (Fiqhun Nisa` fil Khithbah waz
Zawaj, hal. 28)
Bila sekiranya tidak memungkinkan baginya melihat wanita yang ingin
dipinang, boleh ia mengutus seorang wanita yang tepercaya guna
melihat/mengamati wanita yang ingin dipinang untuk kemudian disampaikan
kepadanya. (An-Nazhar fi Ahkamin Nazhar bi Hassatil Bashar, Ibnul
Qaththan Al-Fasi hal. 394, Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim, 9/214,
Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi, 2/280)
Batasan yang boleh dilihat dari seorang wanita
Ketika nazhar, boleh melihat si wanita pada bagian tubuh yang biasa
tampak di depan mahramnya. Bagian ini biasa tampak dari si wanita
ketika ia sedang bekerja di rumahnya, seperti wajah, dua telapak tangan,
leher, kepala, dua betis, dua telapak kaki dan semisalnya. Karena
adanya hadits Rasulullah n:
إِذَا خَطَبَ أَحَدُكُمُ الْمَرْأَةَ، فَإِنِ اسْتَطَاعَ أَنْ يَنْظُرَ إِلَي مَا يَدْعُوهُ إِلىَ نِكَاحِهَا فَلْيَفْعَلْ
“Bila seorang dari kalian meminang seorang wanita, lalu ia mampu
melihat dari si wanita apa yang mendorongnya untuk menikahinya, maka
hendaklah ia melakukannya.” (HR. Abu Dawud no. 2082 dihasankan Al-Imam
Al-Albani t dalam Ash-Shahihah no. 99)
Di samping itu, dilihat dari adat kebiasaan masyarakat, melihat
bagian-bagian itu bukanlah sesuatu yang dianggap memberatkan atau aib.
Juga dilihat dari pengamalan yang ada pada para sahabat. Sahabat Jabir
bin Abdillah c ketika melamar seorang perempuan, ia pun bersembunyi
untuk melihatnya hingga ia dapat melihat apa yang mendorongnya untuk
menikahi si gadis, karena mengamalkan hadits tersebut. Demikian juga
Muhammad bin Maslamah z sebagaimana telah disinggung di atas. Sehingga
cukuplah hadits-hadits ini dan pemahaman sahabat sebagai hujjah untuk
membolehkan seorang lelaki untuk melihat lebih dari sekadar wajah dan
dua telapak tangan2.
Al-Imam Ibnu Qudamah t berkata, “Sisi kebolehan melihat bagian
tubuh si wanita yang biasa tampak adalah ketika Nabi n mengizinkan
melihat wanita yang hendak dipinang dengan tanpa sepengetahuannya.
Dengan demikian diketahui bahwa beliau mengizinkan melihat bagian tubuh
si wanita yang memang biasa terlihat karena tidak mungkin yang
dibolehkan hanya melihat wajah saja padahal ketika itu tampak pula
bagian tubuhnya yang lain, tidak hanya wajahnya. Karena bagian tubuh
tersebut memang biasa terlihat. Dengan demikian dibolehkan melihatnya
sebagaimana dibolehkan melihat wajah. Dan juga karena si wanita boleh
dilihat dengan perintah penetap syariat berarti dibolehkan melihat
bagian tubuhnya sebagaimana yang dibolehkan kepada mahram-mahram si
wanita.” (Al-Mughni, fashl Ibahatun Nazhar Ila Wajhil Makhthubah)
Memang dalam masalah batasan yang boleh dilihat ketika nazhor ini didapatkan adanya perselisihan pendapat di kalangan ulama3.
3. Khithbah (peminangan)
Seorang lelaki yang telah berketetapan hati untuk menikahi seorang wanita, hendaknya meminang wanita tersebut kepada walinya.
Apabila seorang lelaki mengetahui wanita yang hendak dipinangnya
telah terlebih dahulu dipinang oleh lelaki lain dan pinangan itu
diterima, maka haram baginya meminang wanita tersebut. Karena Rasulullah
n pernah bersabda:
لاَ يَخْطُبُ الرَّجُلُ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيْهِ حَتَّى يَنْكِحَ أَوْ يَتْرُكَ
“Tidak boleh seseorang meminang wanita yang telah dipinang oleh
saudaranya hingga saudaranya itu menikahi si wanita atau meninggalkannya
(membatalkan pinangannya).” (HR. Al-Bukhari no. 5144)
Dalam riwayat Muslim (no. 3449) disebutkan:
الْمُؤْمِنُ أَخُو الْمُؤْمِنِ، فَلاَ يَحِلُّ لِلْمُؤْمِنِ أَنْ
يَبْتَاعَ عَلى بَيْعِ أَخِيْهِ وَلاَ يَخْطُبَ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيْهِ
حَتَّى يَذَرَ
“Seorang mukmin adalah saudara bagi mukmin yang lain. Maka tidaklah
halal baginya menawar barang yang telah dibeli oleh saudaranya dan
tidak halal pula baginya meminang wanita yang telah dipinang oleh
saudaranya hingga saudaranya meninggalkan pinangannya (membatalkan).”
Perkara ini merugikan peminang yang pertama, di mana bisa jadi
pihak wanita meminta pembatalan pinangannya disebabkan si wanita lebih
menyukai peminang kedua. Akibatnya, terjadi permusuhan di antara sesama
muslim dan pelanggaran hak. Bila peminang pertama ternyata ditolak atau
peminang pertama mengizinkan peminang kedua untuk melamar si wanita,
atau peminang pertama membatalkan pinangannya maka boleh bagi peminang
kedua untuk maju. (Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi, 2/282)
Setelah pinangan diterima tentunya ada kelanjutan pembicaraan,
kapan akad nikad akan dilangsungkan. Namun tidak berarti setelah
peminangan tersebut, si lelaki bebas berduaan dan berhubungan dengan si
wanita. Karena selama belum akad keduanya tetap ajnabi, sehingga
janganlah seorang muslim bermudah-mudahan dalam hal ini. (Fiqhun Nisa
fil Khithbah waz Zawaj, hal. 28)
Jangankan duduk bicara berduaan, bahkan ditemani mahram si wanita
pun masih dapat mendatangkan fitnah. Karenanya, ketika Asy-Syaikh Ibnu
Utsaimin t dimintai fatwa tentang seorang lelaki yang telah meminang
seorang wanita, kemudian di hari-hari setelah peminangan, ia biasa
bertandang ke rumah si wanita, duduk sebentar bersamanya dengan
didampingi mahram si wanita dalam keadaan si wanita memakai hijab yang
syar’i. Berbincanglah si lelaki dengan si wanita. Namun pembicaraan
mereka tidak keluar dari pembahasan agama ataupun bacaan Al-Qur`an. Lalu
apa jawaban Syaikh t? Beliau ternyata berfatwa, “Hal seperti itu tidak
sepantasnya dilakukan. Karena, perasaan pria bahwa wanita yang duduk
bersamanya telah dipinangnya secara umum akan membangkitkan syahwat.
Sementara bangkitnya syahwat kepada selain istri dan budak perempuan
yang dimiliki adalah haram. Sesuatu yang mengantarkan kepada keharaman,
hukumnya haram pula.” (Fatawa Asy-Syaikh Muhammad Shalih Al-Utsaimin,
2/748)
Yang perlu diperhatikan oleh wali
Ketika wali si wanita didatangi oleh lelaki yang hendak meminang si
wanita atau ia hendak menikahkan wanita yang di bawah perwaliannya,
seharusnya ia memerhatikan perkara berikut ini:
q Memilihkan suami yang shalih dan bertakwa. Bila yang datang
kepadanya lelaki yang demikian dan si wanita yang di bawah perwaliannya
juga menyetujui maka hendaknya ia menikahkannya karena Rasulullah n
pernah bersabda:
إِذَا خَطَبَ إِلَيْكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِيْنَهُ وَخُلُقَهُ
فَزَوِّجُوْهُ، إِلاَّ تَفْعَلُوا تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي الْأَرْضِ وَفَسَادٌ
عَرِيْضٌ
“Apabila datang kepada kalian (para wali) seseorang yang kalian
ridhai agama dan akhlaknya (untuk meminang wanita kalian) maka hendaknya
kalian menikahkan orang tersebut dengan wanita kalian. Bila kalian
tidak melakukannya niscaya akan terjadi fitnah di bumi dan kerusakan
yang besar.” (HR. At-Tirmidzi no. 1084, dihasankan Al-Imam Al-Albani t
dalam Al-Irwa` no. 1868, Ash-Shahihah no. 1022)
q Meminta pendapat putrinya/wanita yang di bawah perwaliannya dan tidak boleh memaksanya.
Persetujuan seorang gadis adalah dengan diamnya karena biasanya ia
malu. Abu Hurairah z berkata menyampaikan hadits Rasulullah n:
لاَ تُنْكَحُ الْأَيِّمُ حَتَّى تُسْتَأْمَرَ وَلاَ تُنْكَحُ
الْبِكْرُ حَتَّى تُسْتَأْذَنَ. قَالُوا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، كَيْفَ
إِذْنُهَا؟ قَالَ: أَنْ تَسْكُتَ
“Tidak boleh seorang janda dinikahkan hingga ia diajak
musyawarah/dimintai pendapat dan tidak boleh seorang gadis dinikahkan
sampai dimintai izinnya.” Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah! Bagaimana
izinnya seorang gadis?” “Izinnya dengan ia diam,” jawab beliau. (HR.
Al-Bukhari no. 5136 dan Muslim no. 3458)
4. Akad nikah
Akad nikah adalah perjanjian yang berlangsung antara dua pihak yang melangsungkan pernikahan dalam bentuk ijab dan qabul.
Ijab adalah penyerahan dari pihak pertama, sedangkan qabul adalah
penerimaan dari pihak kedua. Ijab dari pihak wali si perempuan dengan
ucapannya, misalnya: “Saya nikahkan anak saya yang bernama si A kepadamu
dengan mahar sebuah kitab Riyadhus Shalihin.”
Qabul adalah penerimaan dari pihak suami dengan ucapannya,
misalnya: “Saya terima nikahnya anak Bapak yang bernama si A dengan
mahar sebuah kitab Riyadhus Shalihin.”
Sebelum dilangsungkannya akad nikah, disunnahkan untuk menyampaikan
khutbah yang dikenal dengan khutbatun nikah atau khutbatul hajah.
Lafadznya sebagai berikut:
إِنَّ الْحَمْدَ لِلهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ
وَنَتُوبُ إِلَيْهِ، وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا
وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ،
وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَلاَّ إِلَهَ إلاَّ اللهُ
وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ
وَرَسُوْلُهُ.
5. Walimatul ‘urs
Melangsungkan walimah ‘urs hukumnya sunnah menurut sebagian besar
ahlul ilmi, menyelisihi pendapat sebagian mereka yang mengatakan wajib,
karena adanya perintah Rasulullah n kepada Abdurrahman bin Auf z ketika
mengabarkan kepada beliau bahwa dirinya telah menikah:
أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ
“Selenggarakanlah walimah walaupun dengan hanya menyembelih seekor kambing4.” (HR. Al-Bukhari no. 5167 dan Muslim no. 3475)
Rasulullah n sendiri menyelenggarakan walimah ketika menikahi istri-istrinya seperti dalam hadits Anas z disebutkan:
مَا أَوْلَمَ النَّبِيُّ n عَلىَ شَيْءٍ مِنْ نِسَائِهِ مَا أَوْلَمَ عَلىَ زَيْنَبَ، أَوْلَمَ بِشَاةٍ
“Tidaklah Nabi n menyelenggarakan walimah ketika menikahi
istri-istrinya dengan sesuatu yang seperti beliau lakukan ketika walimah
dengan Zainab. Beliau menyembelih kambing untuk acara walimahnya dengan
Zainab.” (HR. Al-Bukhari no. 5168 dan Muslim no. 3489)
Walimah bisa dilakukan kapan saja. Bisa setelah dilangsungkannya
akad nikah dan bisa pula ditunda beberapa waktu sampai berakhirnya
hari-hari pengantin baru. Namun disenangi tiga hari setelah dukhul,
karena demikian yang dinukilkan dari Nabi n. Anas bin Malik z berkata,
“Nabi n menikah dengan Shafiyyah x dan beliau jadikan kemerdekaan
Shafiyyah sebagai maharnya. Beliau mengadakan walimah tiga hari
kemudian.” (Al-Imam Al-Albani t berkata dalam Adabuz Zafaf hal. 74:
“Diriwayatkan Abu Ya’la dengan sanad yang hasan sebagaimana dalam Fathul
Bari (9/199) dan ada dalam Shahih Al-Bukhari secara makna.”)
Hendaklah yang diundang dalam acara walimah tersebut orang-orang
yang shalih, tanpa memandang dia orang kaya atau orang miskin. Karena
kalau yang dipentingkan hanya orang kaya sementara orang miskinnya tidak
diundang, maka makanan walimah tersebut teranggap sejelek-jelek
makanan. Rasulullah n bersabda:
شَرُّ الطَّعَامِ طَعَامُ الْوَلِيْمَةِ، يُدْعَى إِلَيْهَا الْأَغْنِيَاءُ وَيُتْرَكُ الْمَسَاكِيْنُ
“Sejelek-jelek makanan adalah makanan walimah di mana yang diundang
dalam walimah tersebut hanya orang-orang kaya sementara orang-orang
miskin tidak diundang.” (HR. Al-Bukhari no. 5177 dan Muslim no. 3507)
Pada hari pernikahan ini disunnahkan menabuh duff (sejenis rebana
kecil, tanpa keping logam di sekelilingnya -yang menimbulkan suara
gemerincing-, ed.) dalam rangka mengumumkan kepada khalayak akan adanya
pernikahan tersebut. Rasulullah n bersabda:
فَصْلُ مَا بَيْنَ الْحَلاَلِ وَالْحَرَامِ الدُّفُّ وَالصَّوْتُ فِي النِّكَاحِ
“Pemisah antara apa yang halal dan yang haram adalah duff dan shaut
(suara) dalam pernikahan.” (HR. An-Nasa`i no. 3369, Ibnu Majah no.
1896. Dihasankan Al-Imam Al-Albani t dalam Al-Irwa` no. 1994)
Adapun makna shaut di sini adalah pengumuman pernikahan, lantangnya
suara dan penyebutan/pembicaraan tentang pernikahan tersebut di tengah
manusia. (Syarhus Sunnah 9/47,48)
Al-Imam Al-Bukhari t menyebutkan satu bab dalam Shahih-nya,
“Menabuh duff dalam acara pernikahan dan walimah” dan membawakan hadits
Ar-Rubayyi’ bintu Mu’awwidz x yang mengisahkan kehadiran Rasulullah n
dalam pernikahannya. Ketika itu anak-anak perempuan memukul duff sembari
merangkai kata-kata menyenandungkan pujian untuk bapak-bapak mereka
yang terbunuh dalam perang Badr, sementara Rasulullah n mendengarkannya.
(HR. Al-Bukhari no. 5148)
Dalam acara pernikahan ini tidak boleh memutar nyanyian-nyanyian
atau memainkan alat-alat musik, karena semua itu hukumnya haram.
Disunnahkan bagi yang menghadiri sebuah pernikahan untuk mendoakan
kedua mempelai dengan dalil hadits Abu Hurairah z, ia berkata:
أَنَّ النَّبِيَّّ n كاَنَ إِذَا رَفَّأَ الْإِنْسَاَن، إِذَا
تَزَوَّجَ قَالَ: بَارَكَ اللهُ لَكَ وَبَارَكَ عَلَيْكَ وَجَمَعَ
بَيْنَكُمَا فِي خَيْرٍ
“Adalah Nabi n bila mendoakan seseorang yang menikah, beliau
mengatakan: ‘Semoga Allah memberkahi untukmu dan memberkahi atasmu serta
mengumpulkan kalian berdua dalam kebaikan’.” (HR. At-Tirmidzi no. 1091,
dishahihkan Al-Imam Al-Albani t dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi)
6. Setelah akad
Ketika mempelai lelaki telah resmi menjadi suami mempelai wanita,
lalu ia ingin masuk menemui istrinya maka disenangi baginya untuk
melakukan beberapa perkara berikut ini:
Pertama: Bersiwak terlebih dahulu untuk membersihkan mulutnya
karena dikhawatirkan tercium aroma yang tidak sedap dari mulutnya.
Demikian pula si istri, hendaknya melakukan yang sama. Hal ini lebih
mendorong kepada kelanggengan hubungan dan kedekatan di antara keduanya.
Didapatkan dari perbuatan Rasulullah n, beliau bersiwak bila hendak
masuk rumah menemui istrinya, sebagaimana berita dari Aisyah x (HR.
Muslim no. 590).
Kedua: Disenangi baginya untuk menyerahkan mahar bagi istrinya
sebagaimana akan disebutkan dalam masalah mahar dari hadits Ibnu ‘Abbas
c.
Ketiga: Berlaku lemah lembut
kepada istrinya, dengan semisal memberinya segelas minuman ataupun yang
semisalnya berdasarkan hadits Asma` bintu Yazid bin As-Sakan x, ia
berkata, “Aku mendandani Aisyah x untuk dipertemukan dengan suaminya,
Rasulullah n. Setelah selesai aku memanggil Rasulullah n untuk melihat
Aisyah. Beliau pun datang dan duduk di samping Aisyah. Lalu didatangkan
kepada beliau segelas susu. Beliau minum darinya kemudian memberikannya
kepada Aisyah yang menunduk malu.” Asma` pun menegur Aisyah, “Ambillah
gelas itu dari tangan Rasulullah n. Aisyah pun mengambilnya dan meminum
sedikit dari susu tersebut….”seorang budak maka hendaklah ia memegang
ubun-ubunnya, menyebut nama Allah k, mendoakan keberkahan dan
mengatakan: ‘Ya Allah, aku meminta kepada-Mu dari kebaikannya dan
kebaikan apa yang Engkau ciptakan/tabiatkan dia di atasnya dan aku
berlindung kepada-Mu dari kejelekannya dan kejelekan apa yang Engkau
ciptakan/tabiatkan dia di atasnya’.” (HR. Abu Dawud no. 2160, dihasankan
Al-Imam Al-Albani t dalam Shahih Sunan Abi Dawud)
Kelima: Ahlul ‘ilmi ada yang memandang setelah dia bertemu dan
mendoakan istrinya disenangi baginya untuk shalat dua rakaat bersamanya.
Hal ini dinukilkan dari atsar Abu Sa’id maula Abu Usaid Malik bin
Rabi’ah Al-Anshari. Ia berkata: “Aku menikah dalam keadaan aku berstatus
budak. Aku mengundang sejumlah sahabat Nabi n, di antara mereka ada
Ibnu Mas’ud, Abu Dzar, dan Hudzaifah g. Lalu ditegakkan shalat, majulah
Abu Dzar untuk mengimami. Namun orang-orang menyuruhku agar aku yang
maju. Ketika aku menanyakan mengapa demikian, mereka menjawab memang
seharusnya demikian. Aku pun maju mengimami mereka dalam keadaan aku
berstatus budak. Mereka mengajariku dan mengatakan, “Bila engkau masuk
menemui istrimu, shalatlah dua rakaat. Kemudian mintalah kepada Allah l
dari kebaikannya dan berlindunglah dari kejelekannya. Seterusnya,
urusanmu dengan istrimu….” (Diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dalam
Al-Mushannaf, demikian pula Abdurrazzaq. Al-Imam Al-Albani t berkata
dalam Adabuz Zafaf hal. 23, “Sanadnya shahih sampai ke Abu Sa’id”).
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
1 Namun bukan berarti janda terlarang baginya, karena dari
keterangan di atas Rasulullah n memperkenankan Jabir z memperistri
seorang janda. Juga, semua istri Rasulullah n dinikahi dalam keadaan
janda, kecuali Aisyah.
2 Faedah: Kisah Amirul Mukminin Umar ibnul Khaththab z yang
menyingkap dua betis Ummu Kultsum bintu Ali bin Abi Thalib z yang hendak
dinikahinya, adalah kisah yang dhaif (lemah), pada sanadnya ada irsal
dan inqitha’. (Adh-Dha’ifah, ketika membahas hadits no. 1273)
3 Bahkan Al-Imam Ahmad t sampai memiliki beberapa riwayat dalam masalah ini, di antaranya:
Pertama: Yang boleh dilihat hanya wajah si wanita saja.
Kedua: Wajah dan dua telapak tangan. Sebagaimana pendapat ini juga dipegangi oleh Hanafiyyah, Malikiyyah, dan Syafi’iyyah.
Ketiga: Boleh dilihat bagian tubuhnya yang biasa tampak di depan
mahramnya dan bagian ini biasa tampak dari si wanita ketika ia sedang
bekerja di rumahnya seperti wajah, dua telapak tangan, leher, kepala,
dua betis, dua telapak kaki, dan semisalnya. Tidak boleh dilihat bagian
tubuhnya yang biasanya tertutup seperti bagian dada, punggung, dan
semisal keduanya.
Keempat: Seluruh tubuhnya boleh dilihat, selain dua kemaluannya. Dinukilkan pendapat ini dari Dawud Azh-Zhahiri.
Kelima: Boleh melihat seluruh tubuhnya tanpa pengecualian. Pendapat
ini dipegangi pula oleh Ibnu Hazm dan dicondongi oleh Ibnu Baththal
serta dinukilkan juga dari Dawud Azh-Zhahiri.
PERHATIAN: Tentang pendapat Dawud Azh-Zhahiri di atas, Al-Imam
An-Nawawi berkata bahwa pendapat tersebut adalah suatu kesalahan yang
nyata, yang menyelisihi prinsip Ahlus Sunnah. Ibnul Qaththan menyatakan:
“Ada pun sau`atan (yakni qubul dan dubur) tidak perlu dikaji lagi bahwa
keduanya tidak boleh dilihat. Apa yang disebutkan bahwa Dawud
membolehkan melihat kemaluan, saya sendiri tidak pernah melihat
pendapatnya secara langsung dalam buku murid-muridnya. Itu hanya sekedar
nukilan dari Abu Hamid Al-Isfirayini. Dan telah saya kemukakan
dalil-dalil yang melarang melihat aurat.”
Sulaiman At-Taimi berkata: “Bila engkau mengambil rukhshah
(pendapat yang ringan) dari setiap orang alim, akan terkumpul pada
dirimu seluruh kejelekan.”
Ibnu Abdilbarr berkata mengomentari ucapan Sulaiman At-Taimi di
atas: “Ini adalah ijma’ (kesepakatan ulama), aku tidak mengetahui adanya
perbedaan dalam hal ini.” (Shahih Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, hal.
359)
Selain itu ada pula pendapat berikutnya yang bukan merupakan pendapat Al-Imam Ahmad:
Keenam: Boleh melihat wajah, dua telapak tangan dan dua telapak
kaki si wanita, demikian pendapat Abu Hanifah dalam satu riwayat
darinya.
Ketujuh: Boleh dilihat dari si wanita sampai ke tempat-tempat
daging pada tubuhnya, demikian kata Al-Auza’i. (An-Nazhar fi Ahkamin
Nazhar hal. 392,393, Fiqhun Nazhar hal. 77,78)
Al-Imam Al-Albani t menyatakan bahwa riwayat yang ketiga lebih
mendekati zahir hadits dan mencocoki apa yang dilakukan oleh para
sahabat. (Ash-Shahihah, membahas hadits no. 99)
4 Bagi orang yang punya kelapangan tentunya, sehingga jangan
dipahami bahwa walimah harus dengan memotong kambing. Setiap orang punya
kemampuan yang berbeda. (Syarhus Sunnah 9/135)
Ketika Nabi n walimah atas pernikahannya dengan Shafiyyah, yang
terhidang hanyalah makanan yang terbuat dari tepung dicampur dengan
minyak samin dan keju (HR. Al-Bukhari no. 5169).
Sehingga hal ini menunjukkan boleh walimah tanpa memotong sembelihan. Wallahu ‘alam bish-shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar