Makkah, sekitar 595 M. Suatu hari di tahun itu, perempuan bangsawan, kaya raya, cantik dan tekenal cerdas serta tegas duduk mendengarkan laporan seorang anak muda tentang perjalanan dan transaksi perdagangan yang dilakukannya di Syam (sebutan yang diberikan bagi kawasan yang membentang dari pegunungan Taurus, di sebelah utara, sampai ke Sinai, di sebelah selatan dan antara Laut Putih di sebelah barat dan hulu Sungai Eufrat dan Padang Pasir Arab di sebelah timur). Ternyata, transaksi itu sangat menguntungkan, karena anak muda itu dapat menjual barang dagangan yang dibawanya hampir dua kali lipat dari harga yang dibayarkan. Namun, bukan laporan itu yang memikat perempuan yang anggun nan cantik yang berusia sekitar 40 tahun itu. Entah mengapa perhatiannya kali ini lebih banyak tak terkendali dan kemudian terpusat pada anak muda itu sendiri. Bukan pada laporan yang dikemukakannya.
Anak muda yang berusia sekitar 25 tahun itu memiliki sosok tubuh sedang, ramping, dengan bentuk kepala besar, punggung lebar, dan anggota tubuhnya yang sangat serasi. Kulitnya cerah, tidak teralalu putih dan tidak cokelat. Rambut dan janggut lebat dan hitam, tidak lurus dan tidak terlampau ikal. Rambutnya mencapai pertengahan antara daun telinga dan punggungnya. Panjang janggutnya serasi. Sementara dahinya lebar, matanya berbentuk oval lebar, dan alis matanya yang lebat tampak melengkung tetapi tidak bertaut. Walaupun janggutnya dibiarkan tumbuh, ketampanannya senantiasa berpendar. Yang menambah ketampanan alamiahnya adalah cahaya yang memancar di wajahnya dan pendar cahaya itu terutama tampak dahinya yang lebar dan matanya yang bening.
Perempuan yang kelak mendapat gelar agung “Ibunda Pertama Orang-orang Beriman” itu benar-benar terpesona dan terpikat dengan anak muda itu. Menyadari dirinya masih cantik, tetapi 15 tahun lebih tua ketimbang anak muda itu, tiba-tiba membersit dalam benaknya “ide berani” : maukah anak muda itu menikah dengannya? Memang dia sudah banyak mengenal kehidupan, juga sudah mengenal pelbagai tipe pria. Dia pun telah melintas dua kali perkawinan dengan dua pria dari kalangan bangsawan. Dia juga sudah banyak memberi upah kepada sejumlah orang tua dan anak muda yang membawa barang dagangannya. Tapi, dalam hidupnya, dia belum pernah melihat atau mengenal pria yang sungguh istimewa seperti anak muda yang satu itu.
Begitu anak muda itu memohon diri dan berlalu, hati perempuan nan cantik dan berkepribadian sangat matang itu sangat resah dan gelisah. Bayang-bayang anak muda nan tampan, santun, ramah dan berakhlak mulia itu benar-benar “menyergap” dan menggelayuti benaknya. Dia pun tenggelam dalam pikirannya, membayangkan kembali nada-nada suara anak muda yang menggemakan kejujuran, keramahan, kesantunan dan ketegasan itu ketika menceritakan perjalanannya ke Syam. Dia tenggelam dalam perasaannya membayangkan kembali seraut wajah anak muda yang memancarkan keagungan dan kemudaan itu. Tiba-tiba, dia merasakan suara hatinya berputar-putar mengitari ruangan tempat dia bertemu dengan anak muda tersebut. Seketika hatinya bergetar dan tubuhnya gemetar. Dia kemudian bertanya kepada dirinya sendiri “Duh, mengapa hatiku bergetar dan tubuhku gemetar, sedangkan masa mudaku hampir atau malah sudah berlalu.”
Apa yang sesungguhnya sedang terjadi?
Ketika merasa telah menemukan jawabannya, perempuan anggun nan bangsawan itu tiba-tiba tertegun dan tercenung. Benar-benar bingung dan limbung. Dia tidak tahu bagaimana menghadapi dunia dengan membawa perasaan seperti itu. selepas sedemikian lama dia menutup hatinya dan telepas dari kehidupan pria. Dia pun tidak mengerti, bagaimana dia harus menghadapi keluarganya, selepas menolak lamaran para tokoh dan para hartawan terpandang dan terkemuka di kota kelahirannya. Tapi, mengapa pula pula dia sibuk memikirkan tanggapan kaumnya, sebelum mengetahui tanggapan anak muda itu tentang dirinya. Apakah anak muda itu akan menaruh hati kepada seorang perempuan berusia 40 tahun dan berstatus janda?
Perempuan yang mendapat gelar Putri Quraisy (Amirah Quraisy) itupun merasa diterpa perasaan sangat malu. Dalam usianya yang telah cukup lanjut, jika dibandingkan dengan anak muda itu, tentu dia lebih layak menjadi ibunda bagi anak muda itu. Malah, seandainya ibunda anak muda itu masih hidup pun, usianya tentu belum melintasi empat puluh tahun perjalanan hidup anak manusia. Selain itu, dirinya saat itu adalah seorang Ibunda. Suami pertamanya memberinya seorang putrid yang hampir tiba saatnya memasuki mahligai perkawinan. Sementara suami keduanya telah memberinya seorang putra, seorang bocah yang masih kecil.
Akhirnya, tak kuasa menanggung beban gelagak hati dan pikiran yang sangat berat dan menggelisahkan hati itu, dia pun mengundang sahabat karibnya yang bernama Nafisah binti Munabbih, untuk melepaskan beban yang hampir kuasa ditanggungnya itu. Ketika sang sahabat datang menemuinya, dia pun segera melontarkan gejolak dan gelagak hati dan pikirannya yang galau dan risau itu kepada sang sahabat. Setelah lama berbincang dan bertukar pikiran, akhirnya sang sahabat menawarkan diri untuk mendekati anak muda itu, dan jika perlu, mengatur pernikahan mereka berdua.
Tak lama selepas meninggalkan rumah megah perempuan anggun nan bangsawan yang sedang diterpa “penyakit cinta” itu, Nafisah pun dengan bergegas segera datang kepada anak muda yang membuat galau dan risau sahabatnya itu. selepas bebagi sapa sejenak dengan anak muda nan tampan, santun, ramah dan berakhlak mulia tersebut, Nafisah kemudian “menyergap”-nya dengan sederet pertanyaan: apa sebabnya hingga saat itu dia belum juga berkeluarga; mengapa menghabiskan masa mudanya begitu saja; mengapa tidak menentramkan hati di samping seorang isteri yang menyayanginya dan meniadakan kesepian serta dapat menghiburnya?
Mendengar sederet pertanyaan yang mengusik hatinya itu, anak muda yatim dan tak pernah mengenal wajah ayahnya semenjak lahir itu hampir tak kuasa menahan air matanya yang hampir tumpah. Seketiak dia teringat akan kesepian dan keperihan hidup yang dideritanya semenjak ditinggal wafat ibundanya sebagai bocah berusia enam tahunan. Dia pun memaksa dirinya untuk tersenyum seraya menjawab, “Aku belum menemukan siapa yang akan menjadi teman hidupku.”
Seketika itu juga Nafisah binti Munabbih, “menyergap”-nya dengan jawaban, “Bagaimana kalau engkau ditawari seseorang yang memiliki harta, kecantikan, kemuliaan, dan kebangsawanan? Apakah engkau masih juga tidak menaruh perhatian?”
Pertanyaan Nafisah sangat menyentuh hati anak muda itu yang tak lain adalah Muhammad bin ‘Abdullah yang kala itu belum lagi diangkat sebagai utusan Allah. Seketika itu pula dia mengerti, siapa yang dimaksudkan Nafisah. Dialah Khadijah binti Khuwailid. Siapa lagi, di kota Makkah kala itu, yang dapat menandingi Khadijah binti Khuwailid dalam hal kemuliaan, kebangsawanan dan kecantikan? Ya, andaikata benar yang ditawarkan Nafisah adalah Khadijah, tentu saja dia mau. Tapi, apakah memang Khadijah yang dimaksudkan Nafisah?
“Bagaimana aku dapat menikahinya?” Tanya anak muda itu dengan perasaan ragu dan galau.
“Serahkan hal itu kepadaku!” jawab Nafisah binti Munabbih lega dan gembira, karena anak muda itu tak menolak calon isteri yang ditawarkan kepadanya.
Nafisah binti Munabbih segera memohon diri. Dia meninggalkan anak muda itu hanyut dalam lamunan, membayangkan kelemahlembutan Khadijah. Terbayang di pelupuk mata dan dalam pikirannya, masa depan nan indah penuh kemesraan dan kasih sayang. Tapi, dia segera menghentikan angan-angannya, agar tidak mengkhayal terlalu jauh. Sebab, dirinya tahu, Khadijah pernah beberapa kali menolak lamaran orang-orang Quraisy terkemuka dan terpandang. Untuk menenangkan diri, dia segera pergi menuju Ka’bah seraya berusaha mencoba bersikap realistis.
Pada saat yang sama Nafisah segera menapakkan kaki menuju rumah Khadijah binti Khuwailid. Betapa gembira hati Khadijah selepas mendengarkan hasil perbincangan sahabatnya itu dengan anak muda itu. Khadijah kemudian meminta Nafisah memanggil anak muda itu agar datang kepadanya. Setalah dia datang, Khadijah pun berkata kepadanya, “Wahai putra pamanku! Aku mencintaimu karena kebaikanmu kepadaku. Juga, karena engkau senantiasa terlibat dalam segala urusan di tengah masyarakat dengan sikap nan bijak. Aku menyukaimu karena engkau dapat diandalkan, juga karena keluhuran akhlak dan kejujuran perkataanmu.
Kemudian perempuan nan bersih dan suci (al-Thahirah) yang menurut beberapa sumber, lahir di Makkah sekitar 565 M dan putri pasangan suami-istri Khuwailid bin Asad bin ‘Abdul ‘Uzza bin Qushai dan Fatimah binti Zaidah bin Al ‘Asham dari Bani ‘Amir bin Lu’ayyi bin Ghalib itu menawarkan dirinya untuk dinikahi. Mereka pun sepakat agar masing-masing berbicara kepada pamannya. Khadijah berbicara kepada pamannya, ‘Amr bin Asad, karena Ayahandanya, Khuwailid bin Asad, berpulang menjelang peristiwa Perang Fijar. Pada kesempatan tersebut, Hamzah bin ‘Abdul Muththalibah, didampingi Abu Thalib bin ‘Abdul Muththalib dan beberapa orang lainnya, yang diutus Bani Hasyim untuk mewakili mereka. Meskipun relatif masih muda, Hamzah adalah yang paling dekat hubungannya dengan Bani Asad, karena saudara perempuan kandungnya, Shafiyyah binti ‘Abdul Muththalib, menikah dengan saudara lelaki Khadijah, Al-‘Awwam bin Khuwailid (suami keduanya). Maka, Hamzah membawa keponakannya menemui ‘Amr bin Asad dan melamar Khadijah.
Kesepakatan dicapai di antara mereka bahwa Muhammad harus memberinya mahar dua puluh ekor unta betina. Dan, kemudian dilaksanakan pernikahan antara Muhammad bin ‘Abdullah dan Khadijah binti Khuwailid bin Asad yang berasal dari klan Bani Hasyim dari Suku Bani Asad. Dengan kata lain, diantara istri-istri beliau, Khadijah inilah yang paling dekat garis keturunannya dengan beliau.
***
Itulah kisah pertemuan dan perkawinan Rasulullah Saw. dan Istri teladan beliau, Khadijah. Pernikahan agung antara kedua manusia teladan itu, ternyata, kemudian tetap berlangsung hingga sang istri teladan itu wafat di usia sekitar 65 tahun. Selama sekitar 25 tahun itu, kehidupan suami-istri itu berlangsung penuh keserasian dan kebahagiaan. Semua putra-putri Rasulullah saw, adalah hasil pernikahan beliau dengan Khadijah, kecuali Ibrahim. Lima belas tahun selepas pernikahan beliau dengan Khadijah, beliau diangkat sebagai Rasul. Selama mendampingi beliau, peran istri teladan beliau ini sangat besar dalam upaya sang suami untuk menyeru dan mengajak umat manusia ke pangkuan agama tauhid dan meninggalkan agama berhala dan adat istiadat jahiliyah. Dengan penuh kesabaran, ketabahan dan ketegaran dia mendampingi sang suami tercinta di awal perjuangan berat menyebarkan Islam. Sebagai istri Rasulullah saw, dia banyak mengalami nestapa dan derita. Namun, dia tetap tabah dan setia. Dia tetap mendampingi sang suami tercinta ketika kaum musyrik Quraisy memboikot dan mengusir keluarga Bani Hasyim yang bersikeras menyebarkan Islam. Tak aneh jika beliau sangat kehilangan Ibunda Pertama Orang-orang beriman itu berpulang pada 10 atau 11 Ramadhan tahun ke 10 kenabian, di usia ke 65 tahun karena sakit demam. Ketika memakamkannya beliau meletakkan sendiri ke dalam liang lahad. Dan, tentang istrinya yang member beliau enam putra-putri: Al Qasim, ‘Abdullah, Zainab, Ruqayyah, Ummu Kultsum, dan Fatimah Az Zahra ini, sepeninggal Khadijah beliau memujinya, “Allah tidaklah menganugerahkan kepadaku seorang istri sebagai pengganti yang lebih baik daripada Khadijah. Dia beriman kepadaku ketika semua orang mengingkari kenabianku. Dia membenarkanku ketika semua orang mendustakanku. Dia mengorbankan hartanya ketika semua orang berupaya mempertahankannya. Dan, dari rahimnya Allah menganugerahkan anak-anak bagiku, bukan dari perempuan-perempuan lain."
Terinspirasi dari sebuah buku:
Rumah Cinta Rasulullah
Kisah-kisah Indah Seputar Kehidupan
Rumah Tangga Rasulullah
Karya; ust. Ahmad Rofi' Usmani
Tidak ada komentar:
Posting Komentar