Oleh : Abu Umar Baasyir
Sebagai
bagian dari fitrah kemanusiaan, Islam tidak pernah memberangus hasrat
seksual. Islam memberikan panduan lengkap agar seks bisa tetap
dinikmati seorang muslim tanpa harus kehilangan ritme ibadahnya.
Bulan
Syawal, bagi umat Islam Indonesia, bisa dibilang sebagai musim kawin.
Anggapan ini tentu bukan tanpa alasan. Kalangan santri dan muhibbin
biasanya memang memilih bulan tersebut sebagai waktu untuk
melangsungkan aqad nikah.
Kebiasaan
tersebut tidak lepas dari anjuran para ulama yang bersumber dari
ungkapan Sayyidatina Aisyah binti Abu Bakar Shiddiq yang dinikahi
Baginda Nabi pada bulan Syawwal. Ia berkomentar,
“Sesungguhnya pernikahan di bulan Syawwal itu penuh keberkahan dan mengandung banyak kebaikan.”
“Sesungguhnya pernikahan di bulan Syawwal itu penuh keberkahan dan mengandung banyak kebaikan.”
Namun, untuk menggapai kebahagiaan sejati dalam rumah tangga tentu saja tidak cukup dengan menikah di bulan Syawwal. Ada banyak hal yang perlu dipelajari dan diamalkan secara seksama oleh pasangan suami istri agar meraih ketentraman (sakinah), cinta (mawaddah) dan kasih sayang (rahmah), baik lahir maupun batin. Salah satunya –dan yang paling penting– adalah persoalan hubungan intim atau dalam bahasa fiqih disebut jima’.
Sebagai
salah tujuan dilaksanakannya nikah, hubungan intim –menurut Islam–
termasuk salah satu ibadah yang sangat dianjurkan agama dan mengandung
nilai pahala yang sangat besar. Karena jima’ dalam ikatan nikah adalah
jalan halal yang disediakan Allah untuk melampiaskan hasrat biologis
insani dan menyambung keturunan bani Adam.
Selain
itu jima’ yang halal juga merupakan iabadah yang berpahala besar.
Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Dalam kemaluanmu itu
ada sedekah.” Sahabat lalu bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah kita
mendapat pahala dengan menggauli istri kita?.” Rasulullah menjawab,
“Bukankah jika kalian menyalurkan nafsu di jalan yang haram akan
berdosa? Maka begitu juga sebaliknya, bila disalurkan di jalan yang
halal, kalian akan berpahala.” (HR. Bukhari, Abu Dawud dan Ibnu
Khuzaimah)
Karena
bertujuan mulia dan bernilai ibadah itu lah setiap hubungan seks dalam
rumah tangga harus bertujuan dan dilakukan secara Islami, yakni sesuai
dengan tuntunan Al-Quran dan sunah Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi
Wasallam.
Hubungan
intim, menurut Ibnu Qayyim Al-Jauzi dalam Ath-Thibbun Nabawi
(Pengobatan ala Nabi), sesuai dengan petunjuk Rasulullah memiliki tiga
tujuan: memelihara keturunan dan keberlangsungan umat manusia,
mengeluarkan cairan yang bila mendekam di dalam tubuh akan berbahaya,
dan meraih kenikmatan yang dianugerahkan Allah.
Ulama
salaf mengajarkan, “Seseorang hendaknya menjaga tiga hal pada dirinya:
Jangan sampai tidak berjalan kaki, agar jika suatu saat harus
melakukannya tidak akan mengalami kesulitan; Jangan sampai tidak makan,
agar usus tidak menyempit; dan jangan sampai meninggalkan hubungan
seks, karena air sumur saja bila tidak digunakan akan kering sendiri.
Wajahnya Muram
Muhammad
bin Zakariya menambahkan, “Barangsiapa yang tidak bersetubuh dalam
waktu lama, kekuatan organ tubuhnya akan melemah, syarafnya akan
menegang dan pembuluh darahnya akan tersumbat. Saya juga melihat orang
yang sengaja tidak melakukan jima’ dengan niat membujang, tubuhnya
menjadi dingin dan wajahnya muram.”
Sedangkan
di antara manfaat bersetubuh dalam pernikahan, menurut Ibnu Qayyim,
adalah terjaganya pandangan mata dan kesucian diri serta hati dari
perbuatan haram. Jima’ juga bermanfaat terhadap kesehatan psikis
pelakunya, melalui kenikmatan tiada tara yang dihasilkannya.
Puncak kenikmatan bersetubuh tersebut dinamakan orgasme atau faragh. Meski tidak semua hubungan seks pasti berujung faragh, tetapi upaya optimal pencapaian faragh yang adil hukumnya wajib. Yang dimaksud faragj yang adil adalah orgasme yang bisa dirasakan oleh kedua belah pihak, yakni suami dan istri.
Puncak kenikmatan bersetubuh tersebut dinamakan orgasme atau faragh. Meski tidak semua hubungan seks pasti berujung faragh, tetapi upaya optimal pencapaian faragh yang adil hukumnya wajib. Yang dimaksud faragj yang adil adalah orgasme yang bisa dirasakan oleh kedua belah pihak, yakni suami dan istri.
Mengapa
wajib? Karena faragh bersama merupakan salah satu unsur penting dalam
mencapai tujuan pernikahan yakni sakinah, mawaddah dan rahmah.
Ketidakpuasan salah satu pihak dalam jima’, jika dibiarkan
berlarut-larut, dikhawatirkan akan mendatangkan madharat yang lebih
besar, yakni perselingkuhan. Maka, sesuai dengan prinsip dasar islam,
la dharara wa la dhirar (tidak berbahaya dan membahayakan), segala
upaya mencegah hal-hal yang membahayakan pernikahan yang sah hukumnya
juga wajib.
Namun,
kepuasan yang wajib diupayakan dalam jima’ adalah kepuasan yang berada
dalam batas kewajaran manusia, adat dan agama. Tidak dibenarkan
menggunakan dalih meraih kepuasan untuk melakukan praktik-praktik seks
menyimpang, seperti sodomi (liwath) yang secara medis telah terbukti
berbahaya. Atau penggunaan kekerasaan dalam aktivitas seks
(mashokisme), baik secara fisik maupun mental, yang belakangan kerap
terjadi.
Maka,
sesuai dengan kaidah ushul fiqih “ma la yatimmul wajibu illa bihi
fahuwa wajibun” (sesuatu yang menjadi syarat kesempurnaan perkara
wajib, hukumnya juga wajib), mengenal dan mempelajari unsur-unsur yang
bisa mengantarkan jima’ kepada faragh juga hukumnya wajib.Bagi
kaum laki-laki, tanda tercapainya faragh sangat jelas yakni ketika
jima’ sudah mencapai fase ejakulasi atau keluar mani. Namun tidak
demikian halnya dengan kaum hawa’ yang kebanyakan bertipe “terlambat
panas”, atau –bahkan— tidak mudah panas. Untuk itulah diperlukan
berbagai strategi mempercepatnya.
Dan,
salah satu unsur terpenting dari strategi pencapaian faragh adalah
pendahuluan atau pemanasan yang dalam bahasa asing disebut foreplay
(isti’adah). Pemanasan yang cukup dan akurat, menurut para pakar
seksologi, akan mempercepat wanita mencapai faragh.
Karena dianggap amat penting, pemanasan sebelum berjima’ juga diperintahkan Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi Wasallam. Beliau bersabda,
Karena dianggap amat penting, pemanasan sebelum berjima’ juga diperintahkan Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi Wasallam. Beliau bersabda,
“Janganlah
salah seorang di antara kalian menggauli istrinya seperti binatang.
Hendaklah ia terlebih dahulu memberikan pendahuluan, yakni ciuman dan
cumbu rayu.” (HR. At-Tirmidzi).
Ciuman dalam hadits diatas tentu saja dalam makna yang sebenarnya. Bahkan, Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi Wasallam, diceritakan dalam Sunan Abu Dawud, mencium bibir Aisyah dan mengulum lidahnya. Dua hadits tersebut sekaligus mendudukan ciuman antar suami istri sebagai sebuah kesunahan sebelum berjima’.
Ciuman dalam hadits diatas tentu saja dalam makna yang sebenarnya. Bahkan, Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi Wasallam, diceritakan dalam Sunan Abu Dawud, mencium bibir Aisyah dan mengulum lidahnya. Dua hadits tersebut sekaligus mendudukan ciuman antar suami istri sebagai sebuah kesunahan sebelum berjima’.
Ketika
Jabir menikahi seorang janda, Rasulullah bertanya kepadanya, “Mengapa
engkau tidak menikahi seorang gadis sehingga kalian bisa saling
bercanda ria? …yang dapat saling mengigit bibir denganmu.” HR. Bukhari
(nomor 5079) dan Muslim (II:1087).
Bau Mulut
Karena
itu, pasangan suami istri hendaknya sangat memperhatikan segala unsur
yang menyempurnakan fase ciuman. Baik dengan menguasai tehnik dan trik
berciuman yang baik, maupun kebersihan dan kesehatan organ tubuh yang
akan dipakai berciuman. Karena bisa jadi, bukannya menaikkan suhu
jima’, bau mulut yang tidak segar justru akan menurunkan semangat dan
hasrat pasangan.
Sedangkan
rayuan yang dimaksud di atas adalah semua ucapan yang dapat memikat
pasangan, menambah kemesraan dan merangsang gairah berjima’. Dalam
istilah fiqih kalimat-kalimat rayuan yang merangsang disebut rafats,
yang tentu saja haram diucapkan kepada selain istrinya.
Selain ciuman dan rayuan, unsur penting lain dalam pemanasan adalah sentuhan mesra. Bagi pasangan suami istri, seluruh bagian tubuh adalah obyek yang halal untuk disentuh, termasuk kemaluan. Terlebih jika dimaksudkan sebagai penyemangat jima’. Demikian Ibnu Taymiyyah berpendapat.
Selain ciuman dan rayuan, unsur penting lain dalam pemanasan adalah sentuhan mesra. Bagi pasangan suami istri, seluruh bagian tubuh adalah obyek yang halal untuk disentuh, termasuk kemaluan. Terlebih jika dimaksudkan sebagai penyemangat jima’. Demikian Ibnu Taymiyyah berpendapat.
Syaikh Nashirudin Al-Albani, mengutip perkataan Ibnu Urwah Al-Hanbali dalam kitabnya yang masih berbentuk manuskrip, Al-Kawakbu Ad-Durari,
“Diperbolehkan
bagi suami istri untuk melihat dan meraba seluruh lekuk tubuh
pasangannya, termasuk kemaluan. Karena kemaluan merupakan bagian tubuh
yang boleh dinikmati dalam bercumbu, tentu boleh pula dilihat dan
diraba. Diambil dari pandangan Imam Malik dan ulama lainnya.”
Berkat kebesaran Allah, setiap bagian tubuh manusia memiliki kepekaan dan rasa yang berbeda saat disentuh atau dipandangi. Maka, untuk menambah kualitas jima’, suami istri diperbolehkan pula menanggalkan seluruh pakaiannya. Dari Aisyah RA, ia menceritakan, “Aku pernah mandi bersama Rasulullah dalm satu bejana…” (HR. Bukhari dan Muslim).
Untuk
mendapatkan hasil sentuhan yang optimal, seyogyanya suami istri
mengetahui dengan baik titik-titik yang mudah membangkitkan gairah
pasangan masing-masing. Maka diperlukan sebuah komunikasi terbuka dan
santai antara pasangan suami istri, untuk menemukan titik-titik
tersebut, agar menghasilkan efek yang maksimal saat berjima’.
Diperbolehkan
bagi pasangan suami istri yang tengah berjima’ untuk mendesah. Karena
desahan adalah bagian dari meningkatkan gairah. Imam As-Suyuthi
meriwayatkan, ada seorang qadhi yang menggauli istrinya. Tiba-tiba sang
istri meliuk dan mendesah. Sang qadhi pun menegurnya. Namun tatkala
keesokan harinya sang qadhi mendatangi istrinya ia justru berkata,
“Lakukan seperti yang kemarin.”
Satu hal lagi yang menambah kenikmatan dalam hubungan intim suami istri, yaitu posisi bersetubuh. Kebetulan Islam sendiri memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada pemeluknya untuk mencoba berbagai variasi posisi dalam berhubungan seks. Satu-satunya ketentuan yang diatur syariat hanyalah, semua posisi seks itu tetap dilakukan pada satu jalan, yaitu farji. Bukan yang lainnya.
Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
“Istri-istrimu adalah tempat bercocok tanammu, datangilah ia dari arah manapun yang kalian kehendaki.” QS. Al-Baqarah (2:223).
Posisi Ijba’
Menurut
ahli tafsir, ayat ini turun sehubungan dengan kejadian di Madinah.
Suatu ketika beberapa wanita Madinah yang menikah dengan kaum muhajirin
mengadu kepada Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi Wasallam, karena
suami-suami mereka ingin melakukan hubungan seks dalam posisi ijba’ atau
tajbiyah. Ijba adalah posisi seks dimana lelaki mendatangi farji
perempuan dari arah belakang. Yang menjadi persoalan, para wanita
Madinah itu pernah mendengar perempuan-perempuan Yahudi mengatakan,
barangsiapa yang berjima’ dengan cara ijba’ maka anaknya kelak akan
bermata juling. Lalu turunlah ayat tersebut.
Terkait
dengan ayat 233 Surah Al-Baqarah itu Imam Nawawi menjelaskan, “Ayat
tersebut menunjukan diperbolehkannya menyetubuhi wanita dari depan atau
belakang, dengan cara menindih atau bertelungkup. Adapun menyetubuhi
melalui dubur tidak diperbolehkan, karena itu bukan lokasi bercocok
tanam.” Bercocok tanam yang dimaksud adalah berketurunan.
Muhammad Syamsul Haqqil Azhim Abadi dalam ‘Aunul Ma’bud menambahkan, “Kata ladang (hartsun) yang disebut dalam Al-Quran menunjukkan, wanita boleh digauli dengan cara apapun : berbaring, berdiri atau duduk, dan menghadap atau membelakangi..”
Demikianlah, Islam, sebagai agama rahmatan lil ‘alamin, lagi-lagi terbukti memiliki ajaran yang sangat lengkap dan seksama dalam membimbing umatnya mengarungi samudera kehidupan. Semua sisi dan potensi kehidupan dikupas tuntas serta diberi tuntunan yang detail, agar umatnya bisa tetap bersyariat seraya menjalani fitrah kemanusiannya.
Muhammad Syamsul Haqqil Azhim Abadi dalam ‘Aunul Ma’bud menambahkan, “Kata ladang (hartsun) yang disebut dalam Al-Quran menunjukkan, wanita boleh digauli dengan cara apapun : berbaring, berdiri atau duduk, dan menghadap atau membelakangi..”
Demikianlah, Islam, sebagai agama rahmatan lil ‘alamin, lagi-lagi terbukti memiliki ajaran yang sangat lengkap dan seksama dalam membimbing umatnya mengarungi samudera kehidupan. Semua sisi dan potensi kehidupan dikupas tuntas serta diberi tuntunan yang detail, agar umatnya bisa tetap bersyariat seraya menjalani fitrah kemanusiannya.
Sumber : Sutra Ungu, Panduan Berhubungan Intim Dalam Perspektif Islam, karya Abu Umar Baasyir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar